- Rubiyarto, S,Pd
- Sunaring Haryati
- Siti Rodliah
TWIN STAR
MEMBERIKAN INFORMASI, SOLUSI DAN EDUKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Senin, 19 November 2012
Verifikasi SDLB Muhammadiyah Surya Gemilang
Alhamdulillah SDLB Muhammadiyah Surya Gemilang, pada hari selasa 20 November 2012 sudah di verifikasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang.
Kamis, 08 November 2012
Sesuaikan Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Setiap
anak lahir dengan karakter dan keunikannya. Maka dari itu, layanan
pendidikan yang harus diberikan kepada anak-anak juga harus ditentukan
dengan kemampuan dan minatnya. Terlebih jika anak-anak itu termasuk
dalam kelompok anak berkebutuhan khusus.
Dalam sebuah seminar bertajuk "Bergerak
dan Bermain Langkah Awal Menuju Cerdas" yang digelar oleh College of
Allied Educators (CAE), Sabtu (26/11/2011) di Jakarta, terungkap, anak
berkebutuhan khusus harus ditangani dengat cepat, diperhatikan, dan
diperlakukan secara khusus dengan metode yang tepat.
Director CAE Alice Arianto mengatakan,
untuk menentukan metode pendidikan yang tepat kepada anak berkebutuhan
khusus, setiap orangtua harus mampu mengenali anak-anaknya terlebih
dahulu. Khususnya ketika anak-anak ada dalam usia emasnya, yaitu
sebelum beranjak ke usia enam tahun.
Dalam usia sedini mungkin, kata dia, para orangtua harus melakukan observasi secara cermat terhadap hal-hal yang menjadi kelebihan dan kekurangan pada anak-anaknya. Itulah mengapa orangtua harus membantu dan melatih anak-anaknya saat bertumbuh kembang.
"Kuncinya itu ada pada orangtua. Sejauh mana orangtua itu mengerti dan paham akan kebutuhan anaknya," kata Alice.
Namun, lanjutnya, penanganan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus tidak bisa hanya dilakukan secara sepihak. Ia menegaskan, layanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus hanya bisa dilakukan secara optimal dengan melibatkan semua pihak, orangtua, guru, terapis, dan lain sebagainya.
Alice mengungkapkan, perbedaan karakter yang dimiliki oleh setiap anak membuat tidak ada satu metode pun yang dapat dijadikan pakem ketika ingin memberikan pendidikan yang tepat kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
Misalnya, anak-anak yang kesulitan bicara tentu harus diberikan terapi wicara. Ia menjelaskan, terdapat dua jenis kesulitan bicara. Pertama, tidak memiliki perbendaharaan kata. Kedua, tidak bisa memproduksi suara, maka dibantu melalui terapi wicara.
Namun, jika tidak memiliki kesulitan berbicara, pendidikan kepada anak tentunya harus menggunakan metode yang berbeda.
"Maka dari itu, yang paling penting, orangtua harus mendiagnosis anak-anak mereka secara cepat dan tepat," ungkapnya.
Umumnya, Alice menambahkan, orangtua tidak mengetahui bahwa anaknya mempunyai masalah. Di sisi lain, ada juga orangtua yang sudah menduga, tetapi tidak segera memastikan diagnosisnya dan akhirnya berimbas pada telatnya penanganan anak-anak yang berkebutuhan khusus.
"Jika dikatakan sedini mungkin, ya itu sebelum usia enam tahun. Itu adalah masa-masa emas. Jika sebelum usia itu sudah dibantu dengan metode yang tepat, maka perkembangannya akan lebih optimal," tuturnya.
Alice sangat menyayangkan para orantua yang terlambat menangani anak-anak mereka yang membutuhkan perhatian khusus. Bahkan, ada juga orangtua yang menilai anak-anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang abnormal dan kemudian mengucilkannya di dalam rumah.
"Padahal, anak-anak itu bukan abnormal, tetapi spesial," ujarnya.
Untuk itulah, melalui CAE, Alice berniat memberikan banyak pemahaman kepada para orangtua agar mereka mengerti. Baginya, orangtua tidak perlu malu dan terbebani ketika memiliki anak berkebutuhan khusus. Ia sangat percaya, Tuhan menciptakan setiap individu dengan keunikannya.
"Jadi, kita sebagai orangtua harus bisa melihat anak-anak secara pribadi, apa kelebihan dan apa kekurangannya. Jika kemampuan akademisnya kurang baik, maka kita bisa mencoba untuk beralih ke pendidikan vokasi (keterampilan). Jangan paksa anak-anak ini untuk mengikuti pendidikan di sekolah formal," tandasnya.
Dalam usia sedini mungkin, kata dia, para orangtua harus melakukan observasi secara cermat terhadap hal-hal yang menjadi kelebihan dan kekurangan pada anak-anaknya. Itulah mengapa orangtua harus membantu dan melatih anak-anaknya saat bertumbuh kembang.
"Kuncinya itu ada pada orangtua. Sejauh mana orangtua itu mengerti dan paham akan kebutuhan anaknya," kata Alice.
Namun, lanjutnya, penanganan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus tidak bisa hanya dilakukan secara sepihak. Ia menegaskan, layanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus hanya bisa dilakukan secara optimal dengan melibatkan semua pihak, orangtua, guru, terapis, dan lain sebagainya.
Alice mengungkapkan, perbedaan karakter yang dimiliki oleh setiap anak membuat tidak ada satu metode pun yang dapat dijadikan pakem ketika ingin memberikan pendidikan yang tepat kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
Misalnya, anak-anak yang kesulitan bicara tentu harus diberikan terapi wicara. Ia menjelaskan, terdapat dua jenis kesulitan bicara. Pertama, tidak memiliki perbendaharaan kata. Kedua, tidak bisa memproduksi suara, maka dibantu melalui terapi wicara.
Namun, jika tidak memiliki kesulitan berbicara, pendidikan kepada anak tentunya harus menggunakan metode yang berbeda.
"Maka dari itu, yang paling penting, orangtua harus mendiagnosis anak-anak mereka secara cepat dan tepat," ungkapnya.
Umumnya, Alice menambahkan, orangtua tidak mengetahui bahwa anaknya mempunyai masalah. Di sisi lain, ada juga orangtua yang sudah menduga, tetapi tidak segera memastikan diagnosisnya dan akhirnya berimbas pada telatnya penanganan anak-anak yang berkebutuhan khusus.
"Jika dikatakan sedini mungkin, ya itu sebelum usia enam tahun. Itu adalah masa-masa emas. Jika sebelum usia itu sudah dibantu dengan metode yang tepat, maka perkembangannya akan lebih optimal," tuturnya.
Alice sangat menyayangkan para orantua yang terlambat menangani anak-anak mereka yang membutuhkan perhatian khusus. Bahkan, ada juga orangtua yang menilai anak-anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang abnormal dan kemudian mengucilkannya di dalam rumah.
"Padahal, anak-anak itu bukan abnormal, tetapi spesial," ujarnya.
Untuk itulah, melalui CAE, Alice berniat memberikan banyak pemahaman kepada para orangtua agar mereka mengerti. Baginya, orangtua tidak perlu malu dan terbebani ketika memiliki anak berkebutuhan khusus. Ia sangat percaya, Tuhan menciptakan setiap individu dengan keunikannya.
"Jadi, kita sebagai orangtua harus bisa melihat anak-anak secara pribadi, apa kelebihan dan apa kekurangannya. Jika kemampuan akademisnya kurang baik, maka kita bisa mencoba untuk beralih ke pendidikan vokasi (keterampilan). Jangan paksa anak-anak ini untuk mengikuti pendidikan di sekolah formal," tandasnya.
sumber : Kompas.com
Sekolah Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Sejak
disahkannya UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
berbunyi "Pelayanan pendidikan bagi penderita anak cacat atau anak "
anak Berkebutuhan Khusus (ABK) telah diatur pemerintah dalam bentuk
sekolah inklusi". Sehingga aplikasi dari UU tersebut keberadaan sekolah
Inklusi kini mempunyai pengaruh yang besar bagi dunia pendidikan dari
tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Sekolah ini
berpedoman bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) memiliki kedudukan yang
sama dengan anak-anak normal lain dalam sekolah umum. Keberadaan anak
yang memerlukan perhatian dari beberapa orang, membuat ABK semakin
percaya diri untuk bermimpi ke masa depan. Selain itu, sekolah inklusi
juga mengubah paradigma masyarakat kita yang keliru tentang anak kurang
normal, bahwa mereka membawa suatu masalah yang kemudian berubah
menjadi suatu persepsi bahwa ABK juga diarahkan dan dibimbing sesuai
dengan tingkat keberadaan dan kondisi anak.
Pelayanan
anak berkebutuhan khusus secara berkesinambungan dengan cara
memberikan layanan pendekatan pelan-pelan dari guru dan orang tua
menjadikan mereka lebih baik. Peranan orang tua yang dijadikan sebagai
teman yang selalu mendengarkan dan tempat mengadu anak dalam
menceritakan permasalahan yang dihadapi membuat mereka nyaman tanpa
adanya kecanggungan. Adapun di sekolah, ABK mendapatkan pelayanan
secara bertahap/ berjenjang untuk membantu mereka mendapatkan
kenyamanan dalam memperoleh materi pelajaran umum. Dalam memberikan
layanan di sekolah, guru harus bekerjasama dalam sebuah team work yang solid antara guru kelas dan guru pembimbing khusus, supaya hasil yang diperoleh mengena pada tujuan yang diharapkan.
Dalam
sekolah inklusi menerapkan ruang khusus untuk siswa yang mempunyai
permasalahan untuk mengadakan bimbingan secara intensif setelah jam
pelajaran biasa selesai. Jadi, anak berkebutuhan khusus (ABK) disamping
mendapatkan layanan, tetapi mereka juga mendapat layanan tambahan
diluar jam pelajaran. Hal tersebut dapat meningkatkan kepercayaan diri
anak dalam bergaul dengan anak normal lainnya sesuai dengan kondisi
lingkungan. Adapun dalam pelajaran biasa, guru pembimbing dapat
menerapkan situasi kelas lebih komukatif dengan tidak membedakan antara
anak normal dengan ABK.
Keluarnya
UU No.20/2003 juga membawa manfaat yang cukup besar bagi siswa maupun
sekolah, sebab di sekolah penyelenggara inklusi banyak mendapatkan
bantuan fasilitas pembelajaran lengkap dari pemerintah pusat. Jumlah
dana yang dicairkan bahkan melebihi dana BOS, untuk setiap siswa
mencapai 360.000 pertahun. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah
memperhatikan dan mendukung pelaksanaan pendidikan khusus (sekolah
inklusi). Bahkan terdapat sekolah inklusi yang mempunyai fasilitas
lengkap dibanding dengan sekolah biasa yang tidak menerapkan layanan
ABK.
Deskriminasi
Sekolah
inklusi di Kabupaten Boyolali terbilang banyak yang tersebar di setiap
kecamatan. Setiap sekolah inklusi melayani kurang lebihnya puluhan
Anak Berkebutuhan Khusus, hal ini menunjukkan masih banyak siswa
membutuhkan pelayanan khusus. Di sekolah inklusi, kedudukan siswa ABK
dan anak normal sejajar dalam memperoleh pelajaran biasa. Bedanya anak
berkebutuhan khusus mendapat layanan khusus sesudah pelajaran.
Pernyataan
ABK mendapatkan layanan khusus tidak ada dalam peraturan pemerintah.
Pemerintah menganggap Anak Berkebutuhan Khusus atau anak yang kurang
memiliki kedudukan yang sama dalam mengikuti Ujian Nasional. Target
standar nilai yang dicanangkan bagi ABK juga sama dengan anak normal
lainnya. Hal ini menjadikan keprihatinan pemerhati pendidikan, guru, dan
masyarakat. Mereka menganggap adanya deskriminasi terhadap anak
berkebutuhan khusus, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan dan peka
tentang kemampuan ABK dan anak normal. Masalahnya daya serap pelajaran
anak berkebutuhan khusus lebih lambat, sehingga standar nilaipun harus
disesuaikan kondisi siswanya.
sumber : http://slbmekarsari1-cibinong.com/index.php?option=com_content&view=article&id=104:sekolah-khusus&catid=62:berita-dan-informasi&Itemid=18
Dukungan Orang Tua Bagi Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus
Memiliki
anak berkebutuhan khusus diakui merupakan tantangan yang cukup berat
bagi banyak orangtua. Tidak sedikit yang mengeluhkan bahwa merawat dan
mengasuh anak berkebutuhan khusus membutuhkan tenaga dan perhatian yang
ekstra karena tidak semudah saat melakukannya pada anak-anak normal.
Namun demikian, hal ini harus dapat disikapi secara positif, agar
selanjutnya orangtua dapat menemukan langkah-langkah yang tepat untuk
mengoptimalkan perkembangan dan berbagai potensi yang masih dimiliki
oleh anak-anak tersebut.
Terlebih pada prinsipnya, meskipun
memiliki keterbatasan, bukan berarti tertutup sudah semua jalan bagi
anak berkebutuhan khusus untuk dapat berhasil dalam hidupnya dan
menjalani hari-harinya tanpa selalu bergantung pada orang lain. Di balik
kelemahan atau kekurangan yang dimiliki, anak berkebutuhan khusus
masih memiliki sejumlah kemampuan atau modalitas yang dapat
dikembangkan untuk membantunya menjalani hidup seperti
individu-individu lain pada umumnya.
Keluarga dalam hal ini adalah
lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan anak berkebutuhan khusus.
Heward (2003) menyatakan bahwa efektivitas berbagai program penanganan
dan peningkatan kemampuan hidup anak berkebutuhan khusus akan sangat
ditentukan oleh peran serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab
keluarga adalah pihak yang mengenal dan memahami berbagai aspek dalam
diri seseorang dengan jauh lebih baik daripada orang-orang yang lain.
Di samping itu, dukungan dan
penerimaan dari orangtua dan anggota keluarga yang lain akan memberikan
"energi" dan kepercayaan dalam diri anak berkebutuhan khusus untuk
lebih berusaha mempelajari dan mencoba hal-hal baru yang terkait dengan
ketrampilan hidupnya. Sebaliknya, penolakan atau minimnya dukungan
yang diterima dari orang-orang terdekat akan membuat mereka semakin
rendah diri dan menarik diri dari lingkungan, enggan berusaha karena
selalu diliputi oleh ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain
maupun untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya mereka benar-benar
menjadi orang yang tidak dapat berfungsi secara sosial serta selalu
tergantung pada bantuan orang lain, termasuk dalam merawat diri
sendiri.
Cukup banyak orangtua di Indonesia
yang telah berhasil membesarkan dan memberikan dukungan sehingga
individu berkebutuhan khusus mampu berprestasi di berbagai bidang,
memenuhi peran-peran dan fungsi sosial di masyarakat seperti halnya
individu normal, memperoleh penghasilan, dan bahkan menciptakan
lapangan pekerjaan yang tidak hanya berguna bagi diri sendiri namun
juga bermanfaat untuk orang-orang di sekitarnya. Beberapa diantaranya
bahkan telah diberitakan di media massa, seperti tentang sejumlah
tunanetra yang menjadi musisi; tunarungu yang menjadi guru, penulis dan
aktif di berbagai lembaga swadaya masyarakat; seorang tunadaksa yang
sukses berbisnis on-line atau menjadi wirausahawan yang berkat kegigihannya berhasil menembus pangsa pasar internasional; dan sebagainya.
Menambahkan uraian sebelumnya, hal
lain yang juga tidak kalah penting untuk dipahami adalah bahwa
pengasuhan dan pendidikan yang baik untuk anak berkebutuhan khusus pada
dasarnya tidak selalu identik dengan dana yang besar. Cukup banyak
keluarga khusus yang "berhasi" ternyata memiliki kondisi ekonomi yang
terbatas. Namun demikian kehidupan yang sederhana tersebut tidak
mengurangi kebersamaan dan komunikasi yang saling dukung antar anggota
keluarga, sehingga sejalan dengan pernyataan Heward (2003) bahwa dalam
sebuah keluarga yang kondusif, yang diantara anggota-anggotanya
memiliki kedekatan emosional serta sifat yang komunikatif satu sama
lain, akan tersedia berbagai macam dukungan untuk mengatasi hambatan
perkembangan yang dialami oleh anak. Mereka akan dapat memilih cara
yang tepat, sesuai dengan karakteristik anak, kondisi dan kemampuan
keluarga itu sendiri, sehingga treatmen yang dilakukan dapat berjalan
dengan baik dan mencapai hasil yang maksimal, sekalipun treatmen
tersebut hanya berupa aktivitas-aktivitas yang sederhana.
Sebagai contoh, salah satu orangtua
dari anak berkebutuhan khusus yang menjadi subjek pada penelitian
Hendriani (2006) menceritakan tentang bagaimana mereka berusaha
membangun rasa saling peduli satu sama lain, khususnya terhadap kondisi
salah seorang anak yang mengalami keterbelakangan mental
(tunagrahita). Orangtua mengajak dan sekaligus memberi contoh kepada
anak-anaknya yang normal untuk bersama-sama membantu mengajarkan
ketrampilan hidup sehari-hari kepada saudara mereka (merawat diri,
membersihkan rumah, membaca, menulis, berhitung, dan sebagainya),
menanamkan untuk selalu mengasihi saudara bagaimanapun kondisinya,
serta tidak perlu malu memiliki saudara yang berkebutuhan khusus.
Bagi anak berkebutuhan khusus, peran
aktif orangtua ini merupakan bentuk dukungan sosial yang menentukan
kesehatan dan perkembangannya, baik secara fisik maupun psikologis.
Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan mengenai peranan atau
pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang berarti seperti
anggota keluarga, teman, saudara, dan rekan kerja. Johnson dan Johnson
menyatakan bahwa dukungan sosial adalah pemberian bantuan seperti
materi, emosi, dan informasi yang berpengaruh terhadap kesejahteraan
manusia. Dukungan sosial juga dimaksudkan sebagai keberadaan dan
kesediaan orang-orang yang berarti, yang dapat dipercaya untuk
membantu, mendorong, menerima, dan menjaga individu.
Menurut Saronson dkk (Suhita, 2005),
dukungan sosial memiliki peranan penting untuk melindungi individu dari
ancaman kesehatan mental. Individu yang memiliki dukungan sosial yang
lebih kecil, lebih memungkinkan untuk mengalami konsekuensi psikis yang
negatif. Sementara individu yang memperoleh dukungan sosial yang
tinggi akan menjadi individu lebih optimis dalam menghadapi kehidupan
saat ini maupun masa yang akan datang, lebih terampil dalam memenuhi
kebutuhan psikologi dan memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah,
mempertinggi keterampilan interpersonal, memiliki kemampuan untuk
mencapai apa yang diinginkan, serta lebih mampu untuk mengupayakan
dirinya dalam beradaptasi dengan stress. Berbagai penelitian yang
dikemukakan oleh Atkinson (Suhita, 2005) juga menunjukkan bahwa orang
yang memiliki banyak ikatan sosial cenderung untuk memiliki usia yang
lebih panjang, dan relatif lebih tahan terhadap stress yang berhubungan
dengan penyakit daripada orang yang memiliki sedikit ikatan sosial.
Marmot & Wilkinson (2006)
menjelaskan adanya dua mekanisme yang menunjukkan jalur pengaruh dari
dukungan sosial terhadap kesehatan individu. Jalur pertama adalah efek
langsung (direct effect), dimana baik efek positif dari
ketersediaan dukungan maupun efek negatif dari terbatasnya dukungan dan
terjadinya isolasi sosial akan memberikan pengaruh secara langsung
terhadap kesehatan individu, yang dalam hal ini adalah anak
berkebutuhan khusus. Jalur kedua disebut sebagai efek penyeimbang (buffering effect), yaitu dukungan akan membantu mengurangi atau menurunkan pengaruh dari berbagai stresor akut dan kronik terhadap kesehatan.
SUMBER :
http://wiwinhendriani.com/2011/09/17/dukungan-orangtua-sebagai-determinan-sosial-bagi-perkembangan-anak-berkebutuhan-khusus/
Sabtu, 03 November 2012
Semangat Murid Tunarungu di Paud Taman Latihan Semarang
Angling Adhitya Purbaya - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
Nindi mengajarkan Annisa berbicara (Angling/ detikcom)
Jakarta - Anisa, bocah berusia tiga tahun itu
terlihat antusias memperhatikan pelajaran dari gurunya di kelas Paud
Taman Latihan di Semarang. Setiap kali guru memberikan pertanyaan ia
selalu sigap angkat tangan untuk menjawabnya. Semangat belajar Anisa
tidak terbendung walaupun ia penyandang tunarungu.Tidak hanya Anisa, 10 teman sekelasnya juga bernasib sama. Memang Paud Taman Latihan yang berlokasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang tersebut diperuntukkan khusus bagi anak berumur di bawah lima tahun penyandang tunarungu. Para siswa diberi pelajaran dengan metode yang sedikit berbeda dengan Paud umum lainnya.
Di kelas yang penuh tempelan gambar karya murid dan poster mendidik itu, Anisa dan teman-temannya diatur duduk setengah lingkaran agar mereka bisa melihat jelas artikulasi kata setiap kali guru mengucapkan kalimat. Walaupun semua murid sudah menggunakan alat bantu dengar, metode tersebut tetap perlu dilakukan.
"Agar bisa membaca gerak bibir guru, murid sengaja diatur duduk melingkar," kata guru Paud Taman Latihan, Nindi Nurdita Hapsari (25) kepada detikcom usai mengajar, Sabtu (3/11/2012).
Metode pengajaran yang digunakan Paud Taman Latihan adalah Metode Maternal Reflektif dengan tujuan agar nantinya siswa penyandang tunarungu bisa masuk ke sekolah-sekolah umum. Contoh mengajar dengan metode itu adalah menebak nama benda, warna, dan fungsinya sekaligus.
"Menyebutkan warna, menuliskan nama bendanya dan mempraktikkan fungsi benda yang diperlihatkan oleh guru," pungkas Nindi.
Adapun bentuk tulisan yang diajarkan adalah tulisan latin atau tegak bersambung dan dengan cara baca yang langsung satu kata tanpa dieja per suku kata. Nindi menambahkan, apabila mengajarkan cara baca kepada penyandang tunarungu dengan dieja per suku kata, maka nantinya mereka akan bicara dengan terbata-bata.
"Misal membaca kata 'sampo' langsung saja 'sampo' bukan 'sam-po'. Tulisan pun demikian, dipilih bentuk latin agar mereka bisa menulis langsung satu kata tanpa harus mengejanya, tulisan latin juga dimaksudkan untuk melatih motorik," terang wanita berjilbab itu.
"Istilahnya kita menggembleng anak agar bisa membaca dan menulis," tandasnya.
Satu-satunya kesulitan pada saat mengajar bocah tunarungu, lanjut Nindi, hanya pada bahasa dan artikulasi. Terkadang bahasa isyarat masih diperlukan untuk memperjelas arti kata yang diajarkan. Meski demikian ternyata murid-murid Nindi tidak tampak kesulitan menerima pelajaran darinya.
"Asalkan tidak cacat ganda, mereka cepat menerima pelajaran," ujar Nindi.
Selain dengan metode pengajaran tersebut, para orang tua siswa juga mendukung proses belajar anaknya yang menyandang tunarungu dengan memasangkan alat bantu dengar. Bahkan pada telinga Anisa sudah dipasang alat bantu dengar bernama Koklear Implan dimana ada bagian alat yang ditanamkan di dalam telinganya.
"Di bagian Koklea di telinga Anisa terpasang alat yang harganya kisaran Rp 200 sampai 300 juta satu telinga. Alat lainnya berjenis Behind The Ear yang hanya dipasangkan di bagian luar," tutur Nindi.
Sementara itu kepala SLB Negeri Semarang, Ciptono mengatakan Paud yang sudah berdiri sekitar dua tahun lalu itu sangat diminati oleh orang tua yang memiliki anak penyandang tunanetra. Dan ternyata murid-murid Paud taman Latihan tidak hanya dari Semarang namun juga kota-kota lainnya seperti Kudus, Demak, Tegal bahkan Kalimantan.
"Peminatnya banyak sekali bahkan dari luar kota juga ada," kata pria yang akrab dipanggil Pak Cip itu.
Untuk Paud penyandang tunarungu saat ini SLB Negeri Semarang menyediakan lima kelas dengan total siswa 42 anak yang aktif mengadakan kegiatan belajar pada hari Senin hingga Sabtu.
"Yang digunakan lima kelas. Kami uji coba dulu untuk tunarungu. Untuk Paud lainnya masih persiapan," ujar Pak Cip.
Suasana mengajar di kelas Paud Taman Latihan tidak jauh berbeda dengan Paud lainnya. Para murid bernyanyi, bermain, belajar layaknya anak-anak normal lainnya sedangkan orangtua mereka dengan sabar menunggu di luar kelas hingga pelajaran usai.
(alg/gah)
Selasa, 30 Oktober 2012
KURIKULUM HOMESCHOOLING
Kurikulum HS-TWIN STAR Semarang mengacu pada peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomer
23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Metode
pembelajaran menggunakan pendekatan yang lebih tematik, aktif,
konstruktif, dan kontekstual serta belajar mandiri melalui penekanan
kepada kecakapan hidup dan keterampilan dalam memecahkan masalah. Untuk
itulah proses pembelajaran dilakukan menyenangkan dan tidak
terpaku dengan akademik.
Landasan Hukum Homeschooling
Pelaksanaan sekolah rumah dan komunitas belajar ini dilandasi oleh peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan perubahannya ;
2. UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003;
3. UU Nomor 32 tahun 2003 tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah ;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom ;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar
Sekolah;
7. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0131/U/1991
tentang Paket A dan Paket B;
8. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 132/U/2004 tentang
Paket C.
Langganan:
Postingan (Atom)