Senin, 19 November 2012

Verifikasi SDLB Muhammadiyah Surya Gemilang

Alhamdulillah SDLB Muhammadiyah Surya Gemilang, pada hari selasa 20 November 2012 sudah di verifikasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang.




  1. Rubiyarto, S,Pd
  2. Sunaring Haryati
  3. Siti Rodliah
     Menghadap TIM Verifikasi Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang..

Kamis, 08 November 2012

Sesuaikan Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus

membacaSetiap anak lahir dengan karakter dan keunikannya. Maka dari itu, layanan pendidikan yang harus diberikan kepada anak-anak juga harus ditentukan dengan kemampuan dan minatnya. Terlebih jika anak-anak itu termasuk dalam kelompok anak berkebutuhan khusus.

Dalam sebuah seminar bertajuk "Bergerak dan Bermain Langkah Awal Menuju Cerdas" yang digelar oleh College of Allied Educators (CAE), Sabtu (26/11/2011) di Jakarta, terungkap, anak berkebutuhan khusus harus ditangani dengat cepat, diperhatikan, dan diperlakukan secara khusus dengan metode yang tepat.
Director CAE Alice Arianto mengatakan, untuk menentukan metode pendidikan yang tepat kepada anak berkebutuhan khusus, setiap orangtua harus mampu mengenali anak-anaknya terlebih dahulu. Khususnya ketika anak-anak ada dalam usia emasnya, yaitu sebelum beranjak ke usia enam tahun.

Dalam usia sedini mungkin, kata dia, para orangtua harus melakukan observasi secara cermat terhadap hal-hal yang menjadi kelebihan dan kekurangan pada anak-anaknya. Itulah mengapa orangtua harus membantu dan melatih anak-anaknya saat bertumbuh kembang.

"Kuncinya itu ada pada orangtua. Sejauh mana orangtua itu mengerti dan paham akan kebutuhan anaknya," kata Alice.

Namun, lanjutnya, penanganan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus tidak bisa hanya dilakukan secara sepihak. Ia menegaskan, layanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus hanya bisa dilakukan secara optimal dengan melibatkan semua pihak, orangtua, guru, terapis, dan lain sebagainya.

Alice mengungkapkan, perbedaan karakter yang dimiliki oleh setiap anak membuat tidak ada satu metode pun yang dapat dijadikan pakem ketika ingin memberikan pendidikan yang tepat kepada anak-anak berkebutuhan khusus.

Misalnya, anak-anak yang kesulitan bicara tentu harus diberikan terapi wicara. Ia menjelaskan, terdapat dua jenis kesulitan bicara. Pertama, tidak memiliki perbendaharaan kata. Kedua, tidak bisa memproduksi suara, maka dibantu melalui terapi wicara.

Namun, jika tidak memiliki kesulitan berbicara, pendidikan kepada anak tentunya harus menggunakan metode yang berbeda.

"Maka dari itu, yang paling penting, orangtua harus mendiagnosis anak-anak mereka secara cepat dan tepat," ungkapnya.

Umumnya, Alice menambahkan, orangtua tidak mengetahui bahwa anaknya mempunyai masalah. Di sisi lain, ada juga orangtua yang sudah menduga, tetapi tidak segera memastikan diagnosisnya dan akhirnya berimbas pada telatnya penanganan anak-anak yang berkebutuhan khusus.

"Jika dikatakan sedini mungkin, ya itu sebelum usia enam tahun. Itu adalah masa-masa emas. Jika sebelum usia itu sudah dibantu dengan metode yang tepat, maka perkembangannya akan lebih optimal," tuturnya.

Alice sangat menyayangkan para orantua yang terlambat menangani anak-anak mereka yang membutuhkan perhatian khusus. Bahkan, ada juga orangtua yang menilai anak-anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang abnormal dan kemudian mengucilkannya di dalam rumah.

"Padahal, anak-anak itu bukan abnormal, tetapi spesial," ujarnya.

Untuk itulah, melalui CAE, Alice berniat memberikan banyak pemahaman kepada para orangtua agar mereka mengerti. Baginya, orangtua tidak perlu malu dan terbebani ketika memiliki anak berkebutuhan khusus. Ia sangat percaya, Tuhan menciptakan setiap individu dengan keunikannya.

"Jadi, kita sebagai orangtua harus bisa melihat anak-anak secara pribadi, apa kelebihan dan apa kekurangannya. Jika kemampuan akademisnya kurang baik, maka kita bisa mencoba untuk beralih ke pendidikan vokasi (keterampilan). Jangan paksa anak-anak ini untuk mengikuti pendidikan di sekolah formal," tandasnya.


sumber : Kompas.com

Sekolah Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

BukuSejak disahkannya UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi "Pelayanan pendidikan bagi penderita anak cacat atau anak " anak Berkebutuhan Khusus (ABK) telah diatur pemerintah dalam bentuk sekolah inklusi". Sehingga aplikasi dari UU tersebut keberadaan sekolah Inklusi kini mempunyai pengaruh yang besar bagi dunia pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Sekolah ini berpedoman bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) memiliki kedudukan yang sama dengan anak-anak normal lain dalam sekolah umum. Keberadaan anak yang memerlukan perhatian dari beberapa orang, membuat ABK semakin percaya diri untuk bermimpi ke masa depan. Selain itu, sekolah inklusi juga mengubah paradigma masyarakat kita yang keliru tentang anak kurang normal, bahwa mereka membawa suatu masalah yang kemudian berubah menjadi suatu persepsi bahwa ABK juga diarahkan dan dibimbing sesuai dengan tingkat keberadaan dan kondisi anak.
Pelayanan anak berkebutuhan khusus secara berkesinambungan dengan cara memberikan layanan pendekatan pelan-pelan dari guru dan orang tua menjadikan mereka lebih baik. Peranan orang tua yang dijadikan sebagai teman yang selalu mendengarkan dan tempat mengadu anak dalam menceritakan permasalahan yang dihadapi membuat mereka nyaman tanpa adanya kecanggungan. Adapun di sekolah, ABK mendapatkan pelayanan secara bertahap/ berjenjang untuk membantu mereka mendapatkan kenyamanan dalam memperoleh materi pelajaran umum. Dalam memberikan layanan di sekolah, guru harus bekerjasama dalam sebuah team work yang solid antara guru kelas dan guru pembimbing khusus, supaya hasil yang diperoleh mengena pada tujuan yang diharapkan.
Dalam sekolah inklusi menerapkan ruang khusus untuk siswa yang mempunyai permasalahan untuk mengadakan bimbingan secara intensif setelah jam pelajaran biasa selesai. Jadi, anak berkebutuhan khusus (ABK) disamping mendapatkan layanan, tetapi mereka juga mendapat layanan tambahan diluar jam pelajaran. Hal tersebut dapat meningkatkan kepercayaan diri anak dalam bergaul dengan anak normal lainnya sesuai dengan kondisi lingkungan. Adapun dalam pelajaran biasa, guru pembimbing dapat menerapkan situasi kelas lebih komukatif dengan tidak membedakan antara anak normal dengan ABK.
Keluarnya UU No.20/2003 juga membawa manfaat yang cukup besar bagi siswa maupun sekolah, sebab di sekolah penyelenggara inklusi banyak mendapatkan bantuan fasilitas pembelajaran lengkap dari pemerintah pusat. Jumlah dana yang dicairkan bahkan melebihi dana BOS, untuk setiap siswa mencapai 360.000 pertahun. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah memperhatikan dan mendukung pelaksanaan pendidikan khusus (sekolah inklusi). Bahkan terdapat sekolah inklusi yang mempunyai fasilitas lengkap dibanding dengan sekolah biasa yang tidak menerapkan layanan ABK.
Deskriminasi
Sekolah inklusi di Kabupaten Boyolali terbilang banyak yang tersebar di setiap kecamatan. Setiap sekolah inklusi melayani kurang lebihnya puluhan Anak Berkebutuhan Khusus, hal ini menunjukkan masih banyak siswa membutuhkan pelayanan khusus. Di sekolah inklusi, kedudukan siswa ABK dan anak normal sejajar dalam memperoleh pelajaran biasa. Bedanya anak berkebutuhan khusus mendapat layanan khusus sesudah pelajaran.
Pernyataan ABK mendapatkan layanan khusus tidak ada dalam peraturan pemerintah. Pemerintah menganggap Anak Berkebutuhan Khusus atau anak yang kurang memiliki kedudukan yang sama dalam mengikuti Ujian Nasional. Target standar nilai yang dicanangkan bagi ABK juga sama dengan anak normal lainnya. Hal ini menjadikan keprihatinan pemerhati pendidikan, guru, dan masyarakat. Mereka menganggap adanya deskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan dan peka tentang kemampuan ABK dan anak normal. Masalahnya daya serap pelajaran anak berkebutuhan khusus lebih lambat, sehingga standar nilaipun harus disesuaikan kondisi siswanya.

sumber : http://slbmekarsari1-cibinong.com/index.php?option=com_content&view=article&id=104:sekolah-khusus&catid=62:berita-dan-informasi&Itemid=18

Dukungan Orang Tua Bagi Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus

ChildMemiliki anak berkebutuhan khusus diakui merupakan tantangan yang cukup berat bagi banyak orangtua. Tidak sedikit yang mengeluhkan bahwa merawat dan mengasuh anak berkebutuhan khusus membutuhkan tenaga dan perhatian yang ekstra karena tidak semudah saat melakukannya pada anak-anak normal. Namun demikian, hal ini harus dapat disikapi secara positif, agar selanjutnya orangtua dapat menemukan langkah-langkah yang tepat untuk mengoptimalkan perkembangan dan berbagai potensi yang masih dimiliki oleh anak-anak tersebut.
Terlebih pada prinsipnya, meskipun memiliki keterbatasan, bukan berarti tertutup sudah semua jalan bagi anak berkebutuhan khusus untuk dapat berhasil dalam hidupnya dan menjalani hari-harinya tanpa selalu bergantung pada orang lain. Di balik kelemahan atau kekurangan yang dimiliki, anak berkebutuhan khusus masih memiliki sejumlah kemampuan atau modalitas yang dapat dikembangkan untuk membantunya menjalani hidup seperti individu-individu lain pada umumnya.
Keluarga dalam hal ini adalah lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan anak berkebutuhan khusus. Heward (2003) menyatakan bahwa efektivitas berbagai program penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak berkebutuhan khusus akan sangat ditentukan oleh peran serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab keluarga adalah pihak yang mengenal dan memahami berbagai aspek dalam diri seseorang dengan jauh lebih baik daripada orang-orang yang lain.
Di samping itu, dukungan dan penerimaan dari orangtua dan anggota keluarga yang lain akan memberikan "energi" dan kepercayaan dalam diri anak berkebutuhan khusus untuk lebih berusaha mempelajari dan mencoba hal-hal baru yang terkait dengan ketrampilan hidupnya. Sebaliknya, penolakan atau minimnya dukungan yang diterima dari orang-orang terdekat akan membuat mereka semakin rendah diri dan menarik diri dari lingkungan, enggan berusaha karena selalu diliputi oleh ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain maupun untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya mereka benar-benar menjadi orang yang tidak dapat berfungsi secara sosial serta selalu tergantung pada bantuan orang lain, termasuk dalam merawat diri sendiri.
Cukup banyak orangtua di Indonesia yang telah berhasil membesarkan dan memberikan dukungan sehingga individu berkebutuhan khusus mampu berprestasi di berbagai bidang, memenuhi peran-peran dan fungsi sosial di masyarakat seperti halnya individu normal, memperoleh penghasilan, dan bahkan menciptakan lapangan pekerjaan yang tidak hanya berguna bagi diri sendiri namun juga bermanfaat untuk orang-orang di sekitarnya. Beberapa diantaranya bahkan telah diberitakan di media massa, seperti tentang sejumlah tunanetra yang menjadi musisi; tunarungu yang menjadi guru, penulis dan aktif di berbagai lembaga swadaya masyarakat; seorang tunadaksa yang sukses berbisnis on-line atau menjadi wirausahawan yang berkat kegigihannya berhasil menembus pangsa pasar internasional; dan sebagainya.
Menambahkan uraian sebelumnya, hal lain yang juga tidak kalah penting untuk dipahami adalah bahwa pengasuhan dan pendidikan yang baik untuk anak berkebutuhan khusus pada dasarnya tidak selalu identik dengan dana yang besar. Cukup banyak keluarga khusus yang "berhasi" ternyata memiliki kondisi ekonomi yang terbatas. Namun demikian kehidupan yang sederhana tersebut tidak mengurangi kebersamaan dan komunikasi yang saling dukung antar anggota keluarga, sehingga sejalan dengan pernyataan Heward (2003) bahwa dalam sebuah keluarga yang kondusif, yang diantara anggota-anggotanya memiliki kedekatan emosional serta sifat yang komunikatif satu sama lain, akan tersedia berbagai macam dukungan untuk mengatasi hambatan perkembangan yang dialami oleh anak. Mereka akan dapat memilih cara yang tepat, sesuai dengan karakteristik anak, kondisi dan kemampuan keluarga itu sendiri, sehingga treatmen yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan mencapai hasil yang maksimal, sekalipun treatmen tersebut hanya berupa aktivitas-aktivitas yang sederhana.
Sebagai contoh, salah satu orangtua dari anak berkebutuhan khusus yang menjadi subjek pada penelitian Hendriani (2006) menceritakan tentang bagaimana mereka berusaha membangun rasa saling peduli satu sama lain, khususnya terhadap kondisi salah seorang anak yang mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita). Orangtua mengajak dan sekaligus memberi contoh kepada anak-anaknya yang normal untuk bersama-sama membantu mengajarkan ketrampilan hidup sehari-hari kepada saudara mereka (merawat diri, membersihkan rumah, membaca, menulis, berhitung, dan sebagainya), menanamkan untuk selalu mengasihi saudara bagaimanapun kondisinya, serta tidak perlu malu memiliki saudara yang berkebutuhan khusus.
Bagi anak berkebutuhan khusus, peran aktif orangtua ini merupakan bentuk dukungan sosial yang menentukan kesehatan dan perkembangannya, baik secara fisik maupun psikologis. Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan mengenai peranan atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang berarti seperti anggota keluarga, teman, saudara, dan rekan kerja. Johnson dan Johnson menyatakan bahwa dukungan sosial adalah pemberian bantuan seperti materi, emosi, dan informasi yang berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia. Dukungan sosial juga dimaksudkan sebagai keberadaan dan kesediaan orang-orang yang berarti, yang dapat dipercaya untuk membantu, mendorong, menerima, dan menjaga individu.
Menurut Saronson dkk (Suhita, 2005), dukungan sosial memiliki peranan penting untuk melindungi individu dari ancaman kesehatan mental. Individu yang memiliki dukungan sosial yang lebih kecil, lebih memungkinkan untuk mengalami konsekuensi psikis yang negatif. Sementara individu yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi akan menjadi individu lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun masa yang akan datang, lebih terampil dalam memenuhi kebutuhan psikologi dan memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah, mempertinggi keterampilan interpersonal, memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan, serta lebih mampu untuk mengupayakan dirinya dalam beradaptasi dengan stress. Berbagai penelitian yang dikemukakan oleh Atkinson (Suhita, 2005) juga menunjukkan bahwa orang yang memiliki banyak ikatan sosial cenderung untuk memiliki usia yang lebih panjang, dan relatif lebih tahan terhadap stress yang berhubungan dengan penyakit daripada orang yang memiliki sedikit ikatan sosial.
Marmot & Wilkinson (2006) menjelaskan adanya dua mekanisme yang menunjukkan jalur pengaruh dari dukungan sosial terhadap kesehatan individu. Jalur pertama adalah efek langsung (direct effect), dimana baik efek positif dari ketersediaan dukungan maupun efek negatif dari terbatasnya dukungan dan terjadinya isolasi sosial akan memberikan pengaruh secara langsung terhadap kesehatan individu, yang dalam hal ini adalah anak berkebutuhan khusus. Jalur kedua disebut sebagai efek penyeimbang (buffering effect), yaitu dukungan akan membantu mengurangi  atau menurunkan pengaruh dari berbagai stresor akut dan kronik terhadap kesehatan.

SUMBER :
http://wiwinhendriani.com/2011/09/17/dukungan-orangtua-sebagai-determinan-sosial-bagi-perkembangan-anak-berkebutuhan-khusus/
 
 

Sabtu, 03 November 2012

Semangat Murid Tunarungu di Paud Taman Latihan Semarang

Angling Adhitya Purbaya - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
    
Nindi mengajarkan Annisa berbicara (Angling/ detikcom)
Jakarta - Anisa, bocah berusia tiga tahun itu terlihat antusias memperhatikan pelajaran dari gurunya di kelas Paud Taman Latihan di Semarang. Setiap kali guru memberikan pertanyaan ia selalu sigap angkat tangan untuk menjawabnya. Semangat belajar Anisa tidak terbendung walaupun ia penyandang tunarungu.

Tidak hanya Anisa, 10 teman sekelasnya juga bernasib sama. Memang Paud Taman Latihan yang berlokasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang tersebut diperuntukkan khusus bagi anak berumur di bawah lima tahun penyandang tunarungu. Para siswa diberi pelajaran dengan metode yang sedikit berbeda dengan Paud umum lainnya.

Di kelas yang penuh tempelan gambar karya murid dan poster mendidik itu, Anisa dan teman-temannya diatur duduk setengah lingkaran agar mereka bisa melihat jelas artikulasi kata setiap kali guru mengucapkan kalimat. Walaupun semua murid sudah menggunakan alat bantu dengar, metode tersebut tetap perlu dilakukan.

"Agar bisa membaca gerak bibir guru, murid sengaja diatur duduk melingkar," kata guru Paud Taman Latihan, Nindi Nurdita Hapsari (25) kepada detikcom usai mengajar, Sabtu (3/11/2012).

Metode pengajaran yang digunakan Paud Taman Latihan adalah Metode Maternal Reflektif dengan tujuan agar nantinya siswa penyandang tunarungu bisa masuk ke sekolah-sekolah umum. Contoh mengajar dengan metode itu adalah menebak nama benda, warna, dan fungsinya sekaligus.

"Menyebutkan warna, menuliskan nama bendanya dan mempraktikkan fungsi benda yang diperlihatkan oleh guru," pungkas Nindi.

Adapun bentuk tulisan yang diajarkan adalah tulisan latin atau tegak bersambung dan dengan cara baca yang langsung satu kata tanpa dieja per suku kata. Nindi menambahkan, apabila mengajarkan cara baca kepada penyandang tunarungu dengan dieja per suku kata, maka nantinya mereka akan bicara dengan terbata-bata.

"Misal membaca kata 'sampo' langsung saja 'sampo' bukan 'sam-po'. Tulisan pun demikian, dipilih bentuk latin agar mereka bisa menulis langsung satu kata tanpa harus mengejanya, tulisan latin juga dimaksudkan untuk melatih motorik," terang wanita berjilbab itu.

"Istilahnya kita menggembleng anak agar bisa membaca dan menulis," tandasnya.

Satu-satunya kesulitan pada saat mengajar bocah tunarungu, lanjut Nindi, hanya pada bahasa dan artikulasi. Terkadang bahasa isyarat masih diperlukan untuk memperjelas arti kata yang diajarkan. Meski demikian ternyata murid-murid Nindi tidak tampak kesulitan menerima pelajaran darinya.

"Asalkan tidak cacat ganda, mereka cepat menerima pelajaran," ujar Nindi.

Selain dengan metode pengajaran tersebut, para orang tua siswa juga mendukung proses belajar anaknya yang menyandang tunarungu dengan memasangkan alat bantu dengar. Bahkan pada telinga Anisa sudah dipasang alat bantu dengar bernama Koklear Implan dimana ada bagian alat yang ditanamkan di dalam telinganya.

"Di bagian Koklea di telinga Anisa terpasang alat yang harganya kisaran Rp 200 sampai 300 juta satu telinga. Alat lainnya berjenis Behind The Ear yang hanya dipasangkan di bagian luar," tutur Nindi.

Sementara itu kepala SLB Negeri Semarang, Ciptono mengatakan Paud yang sudah berdiri sekitar dua tahun lalu itu sangat diminati oleh orang tua yang memiliki anak penyandang tunanetra. Dan ternyata murid-murid Paud taman Latihan tidak hanya dari Semarang namun juga kota-kota lainnya seperti Kudus, Demak, Tegal bahkan Kalimantan.

"Peminatnya banyak sekali bahkan dari luar kota juga ada," kata pria yang akrab dipanggil Pak Cip itu.

Untuk Paud penyandang tunarungu saat ini SLB Negeri Semarang menyediakan lima kelas dengan total siswa 42 anak yang aktif mengadakan kegiatan belajar pada hari Senin hingga Sabtu.

"Yang digunakan lima kelas. Kami uji coba dulu untuk tunarungu. Untuk Paud lainnya masih persiapan," ujar Pak Cip.

Suasana mengajar di kelas Paud Taman Latihan tidak jauh berbeda dengan Paud lainnya. Para murid bernyanyi, bermain, belajar layaknya anak-anak normal lainnya sedangkan orangtua mereka dengan sabar menunggu di luar kelas hingga pelajaran usai.

(alg/gah)

 

Selasa, 30 Oktober 2012

KURIKULUM HOMESCHOOLING 


Kurikulum HS-TWIN STAR Semarang mengacu pada peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomer 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Metode pembelajaran menggunakan pendekatan yang lebih tematik, aktif, konstruktif, dan kontekstual serta belajar mandiri melalui penekanan kepada kecakapan hidup dan keterampilan dalam memecahkan masalah. Untuk itulah proses pembelajaran  dilakukan menyenangkan dan tidak terpaku dengan akademik.

Landasan Hukum Homeschooling


Pelaksanaan sekolah rumah dan komunitas belajar ini dilandasi oleh peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan perubahannya ;
2. UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003;
3. UU Nomor 32 tahun 2003 tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah ;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
    Pendidikan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
    Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom ;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar
    Sekolah;
7. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0131/U/1991
    tentang Paket A dan Paket B;
8. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 132/U/2004 tentang
    Paket C.